Cast :
Han Ye Ri ( 35 tahun )
Lee Jong Suk ( 30 tahun )
Lee Si Young ( 35 tahun )
Song Chang Eui ( 40 tahun )
No Min Woo ( 35 tahun )
*Nama dan karakter lainnya yang ada dalam FF ini hanyalah imajinasi author belaka.
Note:
Ini FF pertama author, jadi pasti bakal banyak banget kekurangannya. Jujur aja, sebenernya kurang pede juga mau bikin FF kayak gini. Karena ini bener-bener pertama kalinya author bikin FF dan dipublikasikan. Gak tau deh gimana nanti hasilnya. Silahkan kalian nilai sendiri. Kalau emang ternyata banyak kekurangan, tolong kasih saran. Tapi saran yang membangun ya! Jangan komen-komen yang bernada nyinyiran! Hati author selembut kapas jadi kalo ada yang nyinyir rasanya langsung perih-perih gimana gitu T_T
Oh iya! Ini FF murni hasil pemikiran author. Jadi tolong jangan di copy sembarangan terus di reupload di tempat lain! Sedih banget tau rasanya kalo hasil kerja keras kita di copy paste sembarangan T_T
Oke deh! Tanpa perlu berlama-lama, silahkan kalian baca sendiri ya FF nya. Silahkan kalo ada yang mau komen yaaa…
Chapter 2
Ye Ri POVAku sudah sampai di restoran yang sudah dipesan oleh Min Woo. Tapi dia belum datang. Jadi aku meneleponnya.
“Kau dimana chagi?” tanyaku.
“Aku sedang di jalan. Aku terkena macet. Tunggu sebentar lagi ya.”
“Oke.” Jawabku lalu menutup telepon.
Akan kuceritakan sedikit tentang Min Woo pada kalian. Min Woo cinta pertamaku. Aku bertemu pertama kali dengannya saat di SMA. Kami pernah sekelas saat kelas 1. Dia sangat tampan. Karena itu lah banyak teman-teman SMA ku yang menyukainya. Bahkan kakak-kakak kelasku juga banyak yang menyukainya. Karena itu lah aku tidak berani mendekatinya. Apa lagi mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya gadis biasa. Tidak cantik, tapi juga tidak jelek. Tidak mungkin kan pria popular seperti dia menyukaiku? Karena itu, perasaanku kupendam sampai kami lulus SMA. Tapi 2 tahun yang lalu, kami bertemu lagi di reuni kelas kami. Sejak itu kami mulai dekat. Aku juga tidak tahu kenapa dia bisa menyukaiku. Padahal masih banyak teman-teman kami yang jauh lebih cantik daripada aku. Tapi dia pernah bilang, bahwa aku jadi lebih cantik sekarang. Tidak seperti dulu. Aku jadi tersenyum jika mengingat itu.
Dan sekarang kami sedang merayakan hari jadi kami yang ke-2. Aku merasa sangat beruntung mendapatkan kekasih tampan sepertinya. Apa lagi pekerjaannya juga bisa dibanggakan. Dia seorang bankir. Pokoknya dia tipe calon suami idaman.
“Oh, kau sudah datang!” seruku saat melihatnya. Dia tampan sekali. Seperti biasanya.
“Maafkan aku. Tadi jalannya benar-benar macet.”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti.” Jawabku sambil tersenyum.
“Kau sudah pesan makanan?” tanyanya.
“Belum. Aku menunggumu. Aku ingin kita pesan bersama.”
Dia tersenyum mendengar jawabanku. Kemudian dia memanggil pelayan, lalu memesan makanan.
Kami makan sambil membicarakan segala rutinitas kami di tempat kerja. Aku membahas tentang pekerjaanku, lalu tentang Jong Suk, kemudian murid-muridku, lalu Jong Suk, kemudian membahas keluargaku, lalu Jong Suk lagi. Aku kadang heran sendiri. Kenapa aku selalu membahas dia? Bukan hanya kali ini saja. Aku juga sering membahasnya dengan orang tuaku dan juga Si Young. Si Young teman baikku. Kami berteman sejak SMA.
Akhirnya kami sudah selesai makan. Tapi… Kapan dia akan melamarku? Apa mimpiku tidak akan jadi kenyataan?
“Aku ke toilet sebentar ya,” ucapnya seraya berdiri lalu berjalan menuju toilet.
Tidak lama, hape Min Woo yang diletakkan di atas meja bergetar. Ada panggilan masuk. Kulihat nama peneleponnya. Do Hyun. Orang ini sering sekali menelepon Min Woo. Min Woo memang pernah mengatakan kalau Do Hyun rekan kerjanya, jadi wajar saja jika mereka sering berkomunikasi. Tapi aku bahkan tidak tahu Do Hyun itu yang mana. Aku memang tidak begitu mengenal rekan-rekan kerjanya.
Karena kupikir ada sesuatu yang penting, aku pun mengangkat teleponnya.
“Halo selamat malam,” ucapku memberi salam. Tapi Do Hyun malah menutup teleponnya. Tentu saja aku bingung. aku hanya bisa melongo menatap ke layar ponsel.
Min Woo kembali dari toilet.
“Kenapa? Kenapa kau memegang ponselku?” tanyanya.
“Tadi Do Hyun telepon. Kupikir ada masalah pekerjaan yang ingin dibahas denganmu, jadi kuangkat saja,”
“Apa?! Kau mengangkatnya??” tanyanya sedikit berteriak.
Aku kaget mendengarnya. Orang-orang sekita kami juga menoleh karena mendegar suaranya yang lumayan keras itu.
“Dia tidak mengatakan apa-apa. Saat kubilang ‘halo’, dia langsung mematikan teleponnya,” jawabku.
“Ah! Syukurlah!” ucapnya lega.
“Syukur? Memangnya kenapa?” tanyaku heran.
“Ah… itu… bukan apa-apa,” jawabnya tergagap.
Aku menatapnya bingung. Ada apa dengannya?
“Kau sudah selesai makan kan? Ayo kita pulang,” ajaknya. Aku mengangguk.
Min Woo mengantarku pulang. Selama di jalan dia tidak terlalu banyak bicara. Begitu pula denganku. Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan “Kapan dia akan melamarku?” dan “Siapa sebenarnya Do Hyun? Kenapa Min Woo tidak suka jika aku mengangkat telepon darinya?”.
Tiba-tiba dia berhenti di taman dekat rumahku.
“Tumben?” batinku. Biasanya dia selalu mengantarku sampai depan rumah.
“Keluarlah. Ada yang ingin kubicarakan. Disini udaranya sejuk. Akan terasa lebih segar rasanya jika bicara di luar.” Katanya.
“Ini lah saatnya! Yay!” sorakku dalam hati.
Kami duduk berdua di kursi taman.
“Ye Ri-ya,” ujarnya. Aku memandangnya dengan mata berbinar-binar.
“Aku…aku ingin kita putus.”
Aku terkejut mendengar ucapannya.
“Apa?” tanyaku.
“Aku ingin kita putus.” Ulangnya.
Aku hanya bisa memandangnya tanpa bisa mengatakan apa pun. Aku terdiam beberapa saat. Begitu pula dengannya
“Kenapa?” tanyaku akhirnya.
“Aku sudah tidak menyukaimu.” Jawabnya pelan.
Tidak terasa air mataku mengalir perlahan.
“Apa aku membuat kesalahan sampai kau ingin memutuskanku?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Tidak. Tidak ada. Ini bukan salahmu. Ini semua salahku. Aku yang bersalah. Kau wanita yang baik. Karena itu lah aku tidak pantas untukmu.”
“Apa karena ada wanita lain?” tanyaku lagi.
“Tidak. Sama sekali tidak ada. Tidak ada hal semacam itu. Percayalah padaku.” Jawabnya meyakinkanku.
“Lalu kena…” aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku karena tidak bisa menahan tangisku. Aku menangis tanpa suara. Aku tidak ingin tangisanku menarik perhatian orang-orang yang lewat. Apa lagi taman ini dekat dengan rumahku. Aku khawatir jika ada tetanggaku yang melihat.
Aku berusaha untuk meredakan tangisku, lalu bertanya, “Lalu kenapa kau ingin putus?”
“Aku hanya merasa sudah tidak memiliki perasaan terhadapmu. Itu saja. Maafkan aku Ye Ri.” Jawabnya sambil tertunduk.
Sudah tidak memiliki perasaan terhadap diriku? Hanya itu saja? Benarkah? Rasanya aku ingin memaki dan menamparnya. Tapi aku berusaha untuk menahan diriku.
“Baiklah,” ucapku akhirnya.
“Jika memang itu yang kau inginkan, ayo kita putus.”
Dia menatapku. Tapi aku memalingkan wajahku. Aku lantas berdiri.
“Selamat tinggal No Min Woo.” Ucapku lalu pergi meninggalkannya.
Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisku.
Sampai rumah aku langsung masuk ke dalam kamarku dan langsung mengunci pintunya. Ayah dan ibu yang sedang menonton tv heran melihatku.
“Ye Ri, kau kenapa?” Tanya ibu dari balik pintu kamarku. Aku tidak menjawab ibu, yang bisa kulakukan hanyalah menangis.
“Han Ye Ri? Kenapa kau tidak menjawab ibu?” Tanya ibu sekali lagi. Aku tetap diam. Aku berusaha menahan suara tangisku.
“Ye Ri-ya? Kau kenapa nak?” sekarang giliran ayah yang bertanya. Aku tetap diam.
Hening sejenak.
“Baiklah jika kau ingin sendiri saat ini. Ayah dan ibu tidak akan mengganggumu. Tapi kau tahu kami akan selalu ada untukmu kan? Jika kau membutuhkan kami, datanglah pada kami.” Ucap ayah menyerah.
Air mataku semakin mengalir deras. Ayah, ibu, maafkan aku. Aku benar-benar hanya ingin sendiri saat ini.
##########
Keesokan harinya aku terbangun dengan mata sembab, rambut berantakan, dan tissue dimana-mana. Aku bahkan tidak membersihkan wajahku semalam. Itu karena aku terus menangis sampai tertidur. Penampilanku benar-benar sangat kacau. Aku melihat kea rah jam.beker di atas meja. Oh Tuhaaannn… Sudah pukul 06.45. Aku bisa terlambat bekerja. Aku harus segera bersiap-siap. Walau bagaimanapun, aku harus tetap masuk kerja. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi guru yang baik agar bisa menjadi teladan bagi murid-muridku. Aku tidak sempat mandi, jadi aku hanya cuci muka saja.
Aku keluar dari kamar dan menuju kamar mandi. Ayah dan ibu yang sedang sarapan langsung menatapku. Tapi mereka tidak mengatakan apapun. Setelah selesai cuci muka, aku beranjak ke kamarku. Saat sampai di pintu kamar, aku berkata pada ibuku, “Ibu, tolong buatkan roti untukku ya. Aku tidak sempat sarapan nasi pagi ini.”
Ibu mengangguk dengan wajah bingung.
Di kamar, aku mencoba menutupi mata sembabku dengan make up.
Setelah itu aku ke ruang makan. Aku langsung mengambil roti buatan ibuku. Lalu pamit pergi. Ayah dan ibu melongo melihatku.
Aku berlari menuju halte bis. Aku berlari sekuat tenaga. Terakhir kali aku lari sekencang ini saat aku ikut lomba lari di sekolahku. Dan itu pun kalah. Menyedihkan sekali.
Aku melihat bis yang akan kunaiki. Para penumpang sudah mulai naik. Dan orang terakhir yang antri untuk naik adalah Jong Suk.
“Jong Suk! Lee Jong Suk! Ya!” aku berteriak sekuat tenaga. Jong Suk menoleh.
“Nuna cepatlah!” serunya. Aku pun berlari lebih kencang. Daaannnn…. Akhirnya aku sampai. Aku memegangi Jong Suk. Aku sudah tidak sanggup berdiri. Rasanya kakiku mau copot saking capeknya. Jong Suk keheranan melihatku.
“Kalian jadi naik atau tidak?” Tanya supir bis.
“Ah, tentu saja pak.” Jawab Jong Suk. Tanpa mengatakan apapun, Jong Suk menggendongku. Kalian tahu kan gendongan ala-ala pengantin baru saat memasuki kamar pengantin? Ya seperti itulah dia menggendongku. Aku kaget saat dia melakukan itu. Tapi aku juga bersyukur dia melakukannya. Karena aku benar-benar sudah tidak sanggup berjalan.
Saat sudah sampai di dalam bis, dia menurunkanku, lalu kami membayar ongkos bis.
Bis sudah penuh, jadi kami terpaksa berdiri.
“Kau tidak apa-apa nuna? Kau sanggup berdiri? Apa perlu kugendong?” tanyanya khawatir.
“Tidak apa-apa. Tenang saja” jawabku sambil menoleh ke arahnya. Dia menatapku cukup lama.
“Ada apa?” tanyaku heran.
“Mata nuna kenapa? Sembab dan merah gitu?”
“Ah! Ini…ini…ini karena aku kurang tidur.” Jawabku terbata-bata. Dia menunjukkan ekspresi tidak percaya.
“Apa kau menungguku tadi?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Aku menunggumu cukup lama. Kemana saja kau nuna? Aku meneleponmu, tapi hapemu tidak aktif. Aku ke rumahmu, tapi bibi bilang kau masih tidur.”
“Kau ke rumahku? Apa yang dikatakan oleh ibuku?” tanyaku penasaran.
“Bibi bilang kau masih tidur.”
“Hanya itu?” tanyaku lagi. Dia menghela nafas.
“Bibi juga bilang semalam kau pulang tanpa mengatakan apapun. Kau langsung masuk ke kamar dan tidak mau keluar. Ada apa denganmu? Nuna bertengkar dengan Min Woo hyung?”
“Nanti saja. Akan kujelaskan padamu nanti.” Jawabku.
“Baiklah.” Ujarnya heran.
##########
“Apa tugas yang kuberikan minggu lalu sudah kalian kerjakan?” tanyaku pada murid-muridku.
“Sudah!” jawab mereka serempak.
“Kalau begitu segera kumpulkan.”
Mereka maju untuk mengumpulkan tugas mereka. Ga Eul, salah satu muridku yang juga merupakan keponakan Si Young, mengamati wajahku.
“Apa bibi habis menangis?” tanyanya setengah berbisik. Aku tersentak mendengar pertanyaannya.
“Tidak. Tentu saja tidak.” Jawabku.
“Benarkah? Lalu kenapa mata bibi sembab?” tanyanya lagi.
“Hey, sudah sana! Kembali ke mejamu!” perintahku padanya. Dia pun menurut, tapi dia masih terus menatapku saat dia sudah duduk di kursinya. Aku yakin dia pasti akan mengadukan mengenai mata sembabku pada Si Young. Oh tuhan T_T
##########
Bel istirahat siang berbunyi. Aku sangat lapar. Tadi pagi hanya makan roti. Lagipula tenagaku sudah habis untuk berlari tadi pagi.
“Nuna, ayo makan.” Ajak Jong suk.
“Ayo!” jawabku semangat.
Sampai di kantin, kami langsung mengambil baki dan mengisinya dengan segala macam makanan. Ada daging, sop, kimchi, dll.
“Selamat makan!” seruku saat sudah duduk di kursi kantin. Jong Suk menatapku.
“Kenapa?” tanyaku dengan mulut penuh makanan.
“Nuna kenapa? Kenapa nuna menangis?” tanyanya.
“Nanti saja aku cerita. Biarkan aku makan dulu. Aku sangat lapar.” pintaku. Jong Suk diam saja.
Saat sedang asyik makan, tiba-tiba hapeku bergetar. Ada telepon masuk. Dari Si Young! Sudah kuduga. Ga Eul pasti mengatakan macam-macam padanya. Aku enggan mengangkatnya. Tapi jika tidak kuangkat, dia pasti tidak akan berhenti meneleponku.
“Halo,” ucapku.
“Ada apa denganmu? Ga Eul bilang matamu sembab. Kau menangis? Kenapa? Apa kau bertengkar dengan Min Woo?” tanyanya tanpa henti.
“Ya! Kenapa pertanyaanmu banyak sekali?” protesku.
“Apa kau benar-benar menangis?” tanyanya lagi.
“Nanti saja aku ceritanya. Aku sedang makan sekarang. Nanti aku pasti akan cerita. Tapi sekarang biarkan aku makan dulu.” rengekku.
“Baiklah. Hubungi aku nanti setelah kau sudah sampai rumah. Oke?”
“Oke,” jawabku pasrah lalu menutup telepon.
“Dari Si Young nuna?” tanya Jong Suk.
“Iya,” jawabku singkat. Lalu langsung melanjutkan makanku. Jong Suk tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu.
##########
Bersambung ke Chapter 3
0 comments:
Post a Comment
Silahkan bagi yang ingin berkomentar ^_^